Rabu, 09 Maret 2011

Tradisi Perpolitikan di Indonesia

Sebagai pemenang Pemilu tahun 2009, wajar apabila Partai Demokat (PD) harus berjuang lebih keras dalam mempertahankan keberadaannya dalam pentas politik di tanah air. Selain untuk menjaga kepercayaan konstituennya, PD juga berkepentingan untuk mempertahankan posisinya pada Pemilu tahun 2014.

Karena itu, konsolidasi organisasi yang dilaksanakan lewat Kongres II PD di Bandung yang telah menghasilkan Ketua Umum DPP PD periode 2010-2015, Anas Urbaningrum, menjadi sangat strategis dalam proses perjalanan partai ini ke depan.

Munculnya dua tokoh muda, Andi Alifian Mallarangeng (AM) yang kini menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) KIB II dan Anas Urbaningrum (AU), mantan Anggota KPU yang kini menjadi Ketua Fraksi PD di DPR-RI, untuk bertarung memperebutkan posisi Ketua Umum DPP PD, menyiratkan kesan betapa partai yang digagas dan didirikan oleh SBY ini, memang tengah berupaya untuk lebih membumikan keberadaan mereka. Apalagi kedua tokoh muda ini seperti diketahui khalayak, tidak berada berada dalam gerbong para pendiri.

Itu berarti, baik AM maupun AU, sama-sama punya komitmen dan rasa percaya diri yang cukup tinggi untuk mengembangkan sekaligus memajukan PD. Bahwa kemudian di saat-saat akhir menjelang Kongres dibuka, muncul tokoh senior PD, Marzuki Alie (MA) yang kini menjabat Ketua DPR-RI, untuk ikut meramaikan bursa calon Ketua Umum DPP PD, membuktikan bahwa di dalam “gerbong pendiri” ternyata masih ada stok yang juga siap bertarung.

Sayangnya, entah disadari atau tidak, dalam melaksanakan konsolidasi organisasi, internal partai terkesan lebih mengedepankan “perebutan” posisi Ketua Umum daripada usaha untuk memperkokoh pondasi partai. Bahkan, karena keinginan untuk mewujudkan kehidupan politik yang modern dan demokratis, tradisi perpolitikan yang selama ini hidup dan berkembang di Indonesia cenderung diabaikan. Misalnya, kampanye yang gencar dilakukan oleh AM lewat media dinilai banyak kalangan sebagai suatu hal yang berlebihan dan mubazir, mengingat hak suara ada pada para peserta utusan dari wilayah dan cabang PD, bukan dari kalangan masyarakat seperti pada Pemilu.

Selain itu, materi kongres yang seyogyanya lebih terfokus pada pembahasan AD & ART serta program kerja selama periode kepengurusan lima tahun ke depan, harus tergeser oleh hiruk pikuk pemilihan Ketua Umum, yang konon didahulukan sebagai suatu strategi untuk mengamankan dan memuluskan jalan bagi MA. Sebelumnya, terbetik kabar, MA bakal dihadang oleh kriteria, Ketua DPR-RI tidak boleh jadi Ketua Umum DPP PD, yang akan dilegalisir dalam AD & ART organisasi.

Dalam kondisi demikian, sosok AU menuai banyak simpati dari para pemegang hak suara dalam Kongres II PD di samping upaya penggalangan yang dilakukan oleh tim sukses mereka jauh sebelum pelaksanaan kongres. Meski AM gencar berkampanye di berbagai media, bagi AU bukanlah jadi penghambat, karena suka atau tidak suka, apa yang dilakukan oleh tim suksesnya masih berada pada koridor tradisi perpolitikan di Indonesia. AU juga didukung oleh faktor-faktor, pengalaman memimpin organisasi kemasyarakatan tingkat nasional, elektabilitas dalam pemilihan umum serta posisi yang kini sedang ditempatinya yakni, Ketua Fraksi PD di DPR-RI.

Faktor-faktor tersebut tidak dimiliki oleh MA, walaupun ia kini menjabat Ketua DPR-RI, atau oleh AM yang kini menjabat Menpora. Mengapa demikian? Karena sebagian besar fungsionaris PD di tingkat wilayah dan cabang pernah aktif di organisasi kemasyarakatan, sebagaimana rekam jejak AU yang pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar